Jika kamu pernah berjalan malam di sepanjang Jalan Malioboro, pasti tahu betul betapa hidupnya suasana di sana. Musik angklung bersahut-sahutan, pedagang kaki lima berjejer menjajakan dagangan, dan para wisatawan lokal maupun mancanegara sibuk berfoto di tengah keramaian. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, ada satu kenikmatan kecil yang seringkali luput dari sorotan—semangkuk wedang ronde yang hangat dan menenangkan.
Malam itu saya menyusuri Malioboro setelah seharian penuh menjelajahi tempat-tempat wisata di Yogyakarta. Kaki terasa pegal, dan udara malam mulai menusuk. Tak jauh dari gerobak penjual bakpia, terlihat sebuah lampu temaram dari sebuah gerobak sederhana bertuliskan “Wedang Ronde Asli Jogja”. Saya mendekat, tertarik oleh aroma jahe yang menyeruak hangat di udara.
Penjualnya, seorang bapak paruh baya dengan senyum ramah, menyapa saya sambil menyiapkan mangkuk. Saya pun duduk di bangku plastik yang disediakan, menyaksikan beliau menuangkan kuah jahe panas ke atas campuran ronde—bola-bola kecil kenyal berisi kacang tanah—ditambah potongan roti tawar, kolang-kaling, dan kacang sangrai. Dalam hitungan menit, mangkuk wedang ronde pun siap dinikmati.
Saat suapan pertama menyentuh lidah, rasa hangat dan pedas dari jahe langsung mengalir ke tenggorokan. Ronde-nya lembut dan manis, dengan sensasi menggigit dari isian kacang yang gurih. Kolang-kaling menambahkan tekstur kenyal, sementara potongan roti menyerap kuah jahe, menciptakan kombinasi rasa dan tekstur yang khas. Rasanya bukan hanya menghangatkan badan, tapi juga hati—apalagi diiringi suasana Malioboro yang penuh kenangan.
Wedang ronde memang bukan minuman baru. Minuman ini sudah dikenal sejak lama sebagai bagian dari budaya kuliner Jawa, terutama di malam hari. Asalnya dari Tiongkok dengan nama tangyuan, kemudian diadaptasi ke budaya lokal menjadi wedang ronde. Bedanya, wedang ronde di Jawa lebih kaya campuran dan disajikan dengan kuah jahe yang kuat, sangat cocok untuk iklim tropis yang kadang bisa cukup dingin di malam hari.
Yang membuat wedang ronde di Malioboro terasa spesial adalah suasananya. Duduk di pinggir jalan, di bawah kerlap-kerlip lampu toko dan denting suara musisi jalanan, sambil menyeruput kuah hangat, menciptakan momen yang sulit ditandingi. Rasanya tidak ada restoran mahal yang bisa menandingi kenyamanan sederhana seperti ini.
Menariknya, satu mangkuk wedang ronde hanya dibanderol sekitar 8.000 hingga 12.000 rupiah, tergantung isi dan lokasi penjual. Sangat terjangkau, bahkan untuk kantong backpacker. Tak heran jika wedang ronde menjadi salah satu pilihan kuliner malam favorit para wisatawan.
Beberapa gerobak wedang ronde yang terkenal di Malioboro bahkan sudah berjualan turun-temurun. Mereka tidak hanya menjual makanan, tetapi juga membawa cerita dan warisan rasa dari generasi ke generasi. Bagi wisatawan yang mencari pengalaman otentik, ini adalah salah satu yang wajib dicoba.
Setelah menghabiskan mangkuk saya, saya merasa lebih rileks. Rasa lelah dari perjalanan hari itu seakan menguap bersama uap jahe yang hangat. Saya melanjutkan langkah di sepanjang Malioboro, tapi kali ini dengan senyum yang lebih lebar dan langkah yang lebih ringan.
Malioboro selalu menawarkan lebih dari sekadar belanja dan foto-foto. Ia adalah tempat di mana pengalaman kecil, seperti menyeruput wedang ronde hangat, bisa menjadi momen yang membekas lama dalam ingatan. Jika suatu saat kamu berkunjung ke Jogja, jangan lupa luangkan waktu sejenak untuk menikmati wedang ronde malam-malam di Malioboro. Karena di situlah kamu akan menemukan hangatnya Jogja, dalam satu cangkir sederhana.